Jakarta, Kompas – Kementerian Dalam Negeri sedang menyusun konsep peraturan pemerintah yang bertujuan mencegah mantan terpidana kasus korupsi menempati posisi struktural.
Dengan peraturan pemerintah ini, pemerintah daerah nantinya tidak bisa lagi berkelit bahwa tidak ada larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi untuk menempati posisi penting di struktur pemerintahan.
”Kami sedang menyiapkan konsepnya. Dalam waktu dekat, drafnya akan kami ajukan pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,” kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Kamis (25/10), di Kantor Presiden, Jakarta.
Peraturan pemerintah yang mengatur pegawai negeri, menurut Gamawan, merupakan wilayah kerja Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. ”PP (peraturan pemerintah) ini kewenangan Pak Menpan (Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi). Saya harus bicarakan dulu dengan Menpan,” ujarnya.
Surat edaran
Untuk sementara waktu, hingga PP keluar, Gamawan mengeluarkan surat edaran kepada gubernur, bupati, dan wali kota untuk tidak memberikan jabatan kepada orang yang sudah pernah menjalani hukuman pidana. Bagi mantan terpidana kasus korupsi yang sudah mendapatkan jabatan, Menteri Dalam Negeri menyarankan para gubernur, bupati, dan wali kota untuk segera mencopotnya.
Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar juga memandang perlunya membuat aturan yang lebih tegas guna mencegah mantan terpidana kasus korupsi menempati posisi penting. ”Nanti kita pertegas,” katanya di Kantor Presiden.
Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Airlangga Soetandyo Wignjosoebroto di Surabaya, Jawa Timur, Jumat, mengatakan, hati nurani pemimpin daerah yang memberikan promosi jabatan kepada mantan terpidana korupsi di Kepulauan Riau dipertanyakan. Selain mencederai aspirasi rakyat, pengangkatan tersebut juga tidak berasaskan keadilan dan nilai moral.
”Ke mana hati nurani si pemimpin. Ini jelas perlu dipertanyakan karena tidak sesuai dengan asas kepatutan moral dan keadilan,” ujarnya.
Soetandyo mengakui, jika tidak ada regulasi yang tegas mengatur larangan pengangkatan mantan koruptor menjadi pejabat pemerintahan, pemimpin daerah semestinya mengacu pada asas keadilan dan moralitas.
Bahkan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang membolehkan terpidana korupsi yang dikenai hukuman di bawah empat tahun untuk tetap bekerja sebagai PNS semestinya ditinjau kembali. Sebab, peraturan ini memunculkan peluang bagi pejabat daerah yang korup untuk menjabat lagi.
”Peraturan itu tidak mewakili hukum secara luas. Jika memang tidak sesuai dengan keinginan rakyat, asas keadilan dan kepatutan moral dapat melawan undang-undang atau disebut asas ius contra legem,” tutur Soetandyo.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja menilai, pengangkatan mantan terpidana korupsi untuk menjabat di posisi strategis jelas tidak etis. ”Pemahaman penyelenggara negara terhadap etika itu belum utuh. Kan, tidak etis koruptor bisa menjabat lagi,” kata Adnan.
Adnan menambahkan, situasi ini menjadi pembelajaran bagi provinsi dan kota/kabupaten lain di Indonesia agar kasus pengangkatan mantan terpidana korupsi tidak lagi terulang. ”Persoalan di kita itu hukum dilihat dengan kacamata kuda tidak secara sosiologis. Hal ini jelas mencederai hati rakyat,” ucap Adnan.